AKU BUKAN SUPERMAN

Foto saya
Mau pulsa murah? Ofan Cell Jl. Raya Pengasih-Sentolo (utara jembatan Derwolo baru) telp. 087839590463

Jumat, 24 Juli 2009

Wajah Sekolah Kita (?)

Aku berkesempatan masuk di sebuah sekolah dasar di wilayah Kepulauan Riau. Dapat Kalian bayangkan, betapa asyiknya itu. Anak-anak kecil bermain-main di halaman sekolah, berkejaran, melompat-lompat, bahkan kemudian ada yang bertengkar dan menangis. Semua begitu indah. "Musuh" dan sahabat sudah berbaur, yang ada adalah sebuah komunitas penuh bahagia di mataku. Atau mungkin kita dulu juga seperti itu?
Di bagian lain ada yang asyik belajar, entah ikhlas atau terpaksa. Membuka buku, membaca dan kemudian agak terburu-buru menulis. Ada juga yang antusias tunjuk jari. Tapi ada juga yang tetap tak beranjak dari kursi saat Ibu guru dengan senyum dan keramahtamahan memintanya untuk maju dan mengerjakan soal di papan tulis. Tak terasa, senyum mengembang keluar dari bibir seksiku...(we e eh!)
Ketika ku berpaling ke bagian lain, mendadak hilang senyumku. Bapak guru setengah tua dengan tongkat kayu teracung membubarkan sekelompok anak yang belum masuk ke kelas. Dua bayangan melesat di pikiranku.
Pertama, teringat saat aku masih kecil dan tinggal di rumah di tepi sungai. Hampir tiap hari ada penggembala itik yang menggiring serombongan itik untuk menuju ke kali atau pulang ke rumahnya. Persis, tangannya mengacung-acungkan kayu agar itik mengikuti komandonya. Tapi sekarang yang aku lihat bukan serombongan itik, mereka anak manusia.
Kedua, aku teringat film-film yang menggambarkan pendidikan jaman penjajahan dulu. Guru dengan topi laken (begitu orang di desaku dulu menyebut, entah apa nama sebenarnya), membawa tongkat, berjalan memutar di sekeliling siswa yang tertunduk serius membaca buku. Satu pun siswa tak ada yang berani bicara, atau bahkan kentut pun akan tertahan hingga waktu istirahat. Dulu aku selalu tertawa jika melihat film seperti itu, karena terbayang begitu siswa-siswa tersebut keluar saat waktu istirahat, semua akan berebut oksigen agar tidak tersengal-sengal setelah sekian waktu menahan nafas yang "harus" berirama sesuai keinginan guru, sementara beberapa yang lain melepaskan penderitaan dengan mengumbar udara bawah beraroma agar perut menjadi nyaman.
Kita sudah merdeka selama 64 tahun, tapi perilaku kolonial masih terlihat di sekitar kita. Tidak adakah cara yang lebih santun untuk menyuruh siswa masuk ke kelas? Haruskah dengan pentungan kayu agar nampak seram? Jangan heran, kalau akhirnya generasi ini menjadi generasi yang beringas, karena tiap saat otak mereka dijejali dengan perilaku menyeramkan, kasar.
Hidup ini memang berat, kejam, keras, kasar. Namun bukankah dunia anak belum akan sampai ke situ? Saat anak-anak bermain kemudian bertengkar dan akhirnya menangis, tunggu beberapa saat mereka juga akan bernyanyi bersama lagi. Bukankah itu lebih indah untuk kita budayakan di lingkungan anak-anak agar proses kreatif dan pendewasaan berjalan apa adanya?
Masih perlukah pentungan kayu di sekolah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar