AKU BUKAN SUPERMAN

Foto saya
Mau pulsa murah? Ofan Cell Jl. Raya Pengasih-Sentolo (utara jembatan Derwolo baru) telp. 087839590463

Senin, 27 Juli 2009

Kerja Itu Sulit Juga Ya....


Kata-kata itu aku temukan di facebook dari seorang teman yang kalau nggak salah ingat lulus SMA tahun ini. Aku benar-benat tidak tahu mengapa muncul pernyataan seperti itu. BIsa jadi, dia baru mulai bekerja sehingga belum terkondisi dengan lingkungan kerjanya, atau bisa jadi bekerja di tempat yang "tidak pas" dengan keinginannya, atau mungkin juga berkali-kali mencari kerja tetapi tidak mendapatkan yang dia inginkan. Terlepas semua, aku selalu harus mengatakan, apa sih yang tidak sulit di dunia ini.
Kalau berpikir bahwa kerja itu sulit, pernahkah juga kita berpikir kalau tidak bekerja jauh akan lebih sulit, minimal dampak akhirnya. Kita butuh makan, dan tidak mungkin selamanya akan bergantung dengan ortu. Kita butuh pakaian, yang tidak mungkin selalu berharap ada orang yang memberi. Selanjutnya, kebutuhan ini akan selalu mengikuti seiring dengan waktu yang kita jalani.
Sesulit apa sih sebenarnya kerja itu?
Ketika suatu saat aku mudik, aku sempatkan menengok sungai di dekat rumahku. Di sungai itu dulu sebagian masa kecilku dihabiskan. Bermain pasir, memancing ikan, mandi di sungai atau bermain layang-layang di atas bebatuan. Mandi di sungai dan main layang-layang adalah kegemaranku waktu itu. Tak peduli terik matahari membakar ketika bermain layang-layang, atau panasnya air sungai yang membakar kulit,semua terasa indah. Rasa panas hilang dengan kegembiraan, karena aku benar-benar menikmatinya.
Nah, kenapa kita harus berpikir sulit. Bekerja itu jelas sulit, penuh resiko. Tapi tidakkah lebih baik menikmati pekerjaan sebagai sebuah karunia yang tiada tara? Pekerjaan yang sulit hanya ada di hati dan bagaimana kita menyikapi. Kalau kita berpikir sulit, kesulitan yang akan selalu kita hadapi. Tapi kalau kita berpikir mudah, kemudahan yang akan kita terima. Mencintai pekerjaan, membuat "dia" bagian hidup kita, dan melakukan dengan ikhlas adalah kunci.
Kalau memang merasa sulit, mengapa tidak segera berhenti dan mencari pekerjaan lain? Tapi ingat, tidak satu pun manajer yang bodoh. Kalau memang nggak punya loyalitas, nggak usah berhenti pasti manajernya yang akan menghentikan kerja Kamu....

Jumat, 24 Juli 2009

Wajah Sekolah Kita (?)

Aku berkesempatan masuk di sebuah sekolah dasar di wilayah Kepulauan Riau. Dapat Kalian bayangkan, betapa asyiknya itu. Anak-anak kecil bermain-main di halaman sekolah, berkejaran, melompat-lompat, bahkan kemudian ada yang bertengkar dan menangis. Semua begitu indah. "Musuh" dan sahabat sudah berbaur, yang ada adalah sebuah komunitas penuh bahagia di mataku. Atau mungkin kita dulu juga seperti itu?
Di bagian lain ada yang asyik belajar, entah ikhlas atau terpaksa. Membuka buku, membaca dan kemudian agak terburu-buru menulis. Ada juga yang antusias tunjuk jari. Tapi ada juga yang tetap tak beranjak dari kursi saat Ibu guru dengan senyum dan keramahtamahan memintanya untuk maju dan mengerjakan soal di papan tulis. Tak terasa, senyum mengembang keluar dari bibir seksiku...(we e eh!)
Ketika ku berpaling ke bagian lain, mendadak hilang senyumku. Bapak guru setengah tua dengan tongkat kayu teracung membubarkan sekelompok anak yang belum masuk ke kelas. Dua bayangan melesat di pikiranku.
Pertama, teringat saat aku masih kecil dan tinggal di rumah di tepi sungai. Hampir tiap hari ada penggembala itik yang menggiring serombongan itik untuk menuju ke kali atau pulang ke rumahnya. Persis, tangannya mengacung-acungkan kayu agar itik mengikuti komandonya. Tapi sekarang yang aku lihat bukan serombongan itik, mereka anak manusia.
Kedua, aku teringat film-film yang menggambarkan pendidikan jaman penjajahan dulu. Guru dengan topi laken (begitu orang di desaku dulu menyebut, entah apa nama sebenarnya), membawa tongkat, berjalan memutar di sekeliling siswa yang tertunduk serius membaca buku. Satu pun siswa tak ada yang berani bicara, atau bahkan kentut pun akan tertahan hingga waktu istirahat. Dulu aku selalu tertawa jika melihat film seperti itu, karena terbayang begitu siswa-siswa tersebut keluar saat waktu istirahat, semua akan berebut oksigen agar tidak tersengal-sengal setelah sekian waktu menahan nafas yang "harus" berirama sesuai keinginan guru, sementara beberapa yang lain melepaskan penderitaan dengan mengumbar udara bawah beraroma agar perut menjadi nyaman.
Kita sudah merdeka selama 64 tahun, tapi perilaku kolonial masih terlihat di sekitar kita. Tidak adakah cara yang lebih santun untuk menyuruh siswa masuk ke kelas? Haruskah dengan pentungan kayu agar nampak seram? Jangan heran, kalau akhirnya generasi ini menjadi generasi yang beringas, karena tiap saat otak mereka dijejali dengan perilaku menyeramkan, kasar.
Hidup ini memang berat, kejam, keras, kasar. Namun bukankah dunia anak belum akan sampai ke situ? Saat anak-anak bermain kemudian bertengkar dan akhirnya menangis, tunggu beberapa saat mereka juga akan bernyanyi bersama lagi. Bukankah itu lebih indah untuk kita budayakan di lingkungan anak-anak agar proses kreatif dan pendewasaan berjalan apa adanya?
Masih perlukah pentungan kayu di sekolah kita?

Kamis, 23 Juli 2009


Apakah orang seperti Albert Einstein waktu kecil pernah membayangkan akan menjadi orang hebat, terkenal di seluruh dunia seperti sekarang? Tentunya tidak. Perjalanan waktulah yang akhirnya "membesarkan" namanya dan membuat semua orang tahu siapa dia, bahkan banyak orang yang sampai hafal teori-teori yang pernah keluar dari otaknya.
Artinya, karena semua di antara kita tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, tidak ada salahnya kita merangkai mimpi. Namun tentu bukan sebatas itu. Berusaha mewujudkan impian, itu adalah yang utama. Biarkan otak kita bekerja, tangan dan kaki kita berusaha mengejarnya. Bukankah begitu banyak sinyal-sinyal kesuksesan yang sebenarnya keluar dari otak kita, tapi sayang anggota tubuh kita tidak mampu membaca sinyal tersebut.
Tidak usahlah berburuk sangka pada Tuhan, mengapa kita diciptakan dengan keterbatasan, sementara orang lain punya banyak kelebihan. Mengapa kita diciptakan tidak banyak memiliki sementara orang lain mendapatkannya hingga melimpah ruah. Bukan Tuhan tentu yang salah. Kita lahir dan besar sama-sama tanpa tahu apa yang terjadi esok. Sikap dan perilaku kitalah yang akan membedakan kita dengan yang lain, atau orang lain dengan kita.
Saat lahir, Albert Einstein pun tak tahu, kalau IQ-nya di atas rata-rata. Dia tahu setelah dia jalni hidupnya. Kenapa kita harus merenungi nasib. Enjoy aja, dan tetap terus semangat, Sobat!

Kamis, 16 Juli 2009

Ini Dari Kalian Kan?

From: 08523299XXXX
Askum.Mf mengganggu.Mas,tlong smpein ma entor2 UGAMA,mkasih dan membimbing aq & tman2 saat mau UAN kmrin.&alhmdulilah aq lu2s UAN.
__________________

From: 08573625XXXX
Askum oM pipieT,,,mch ingeT 5Q g'?nE'Q idha,,q mau ngsh kBr gmbra,AlHmdllah hRbl almien....Aq LULUS...,
mkch yE oM slm nE dE ngdo'aN+bri smagt 5Q!mkch Bgt,,,
__________________

From: 08573508XXXX
Kak.bayu Aq luluz..Danem 31,15
tnx ats doanya y frend!
GBU..

@>GABY,SMPK,NGAWI
__________________

From: 08785836XXXX
Mas saya adi dri caruban.mas thanks ya atas d)anya,akhirnya saya dan tman2 lulus..(Sorry adi, lanjutannya aku potong, yang itu khusus rahasia kita berdua kan?Hehe)
__________________

From: 08674783XXXX
Malem maz, ni fadhilla murid smp 1 kts.Alhamdulillah udh luluz smp. Makasih doanya ya maz. Gimana ni kabarnya? Masih sibuk gak?

Maaf, buat SMS yang lain, belum sempat aku posting ke blog ini. Yang jelas masih tersimpan di HP aku. Yang kirim via e-mail, biar menjadi kenangan indah tersimpan di inbox.

Aturan Oh Aturan....


Dalam sebuah kesempatan, saya memperhatikan seorang kepala sekolah yang mebacakan aturan-aturan di sekolah kepada ratusan siswanya. Mulai dari baju yang harus seragam, topi dengn lambang tut wuri handayani, ikat pingang hitam 3cm dengan lambang sekolah, kaos kaki putih, jilbab putih bagi yang mengenakan dan lain-lain. Nyaman memang jika setiap siswa dalam satu sekolah mengenakan atribut yang sama, rapi, seragam. Dan juga, aturanaturan seperti itu memang wajar dalam dunia pendidikan, minimal untuk melatih kedisiplinan.
Saya bukan orang yang tidak suka dengan aturan, dan saya juga yakin bahwa aturan sangat perlu, apalagi untuk pendisiplinan diri. Tapi, terlalu bnyak aturan kadang juga menyebalkan, ya to? Kalau sebatas pemakaian seragam, bisa saja dimaklumi. Tapi, ada dua hal kelanjutan dari "indoktrinasi" kepala sekolah ke siswanya dari kejadian di atas.
Pertama, kuku tdak boleh panjang. Aturan umum yang memang sangat wajar. Kuku panjang tempat kuman "bersendau gurau", yang bisa menyebabkan aneka macam penyakit. Tapi, kepala sekolah tersebut membenarkan kalau yang berkuku panjang bapak/ibu guru, lho?. Alasan pembenaran memang cukup logis, siswa yang masih anak-anak suka bermain dengan pasir dan kotoran, kuku panjang bisa menjadi sarang kuman. Bapak/Ibu guru sudah dewasa, tidak lagi bermain-main dengan kotoran. (Komentar: Padahal, "permainan" orang dewasa lebih beresiko jika kuku panjang hehe...)
Kedua, rambut cowok tidak boleh di-"jabrik"-kan, harus belah tengah atau belah tepi. Saya jadi membayangkan suasana di sekolah akan seperti jaman Samsul Bahri dan Siti Nurbaya dulu. Apa sih sebenarnya yang salah dengan rambut jabrik? Apakah rambut jabrik identik dengan anak nakal? Ada lagi di sebuah sekolah yang memberi poin negatif jika siswa berkepala gundul, nah!
Aturan memang sudah sewajarnya dan sangat perlu. Tapi, kalau itu akan menghambat kreativitas dan daya imajinasi anak, perlukah? Selama masih tidak melanggar norma kesusilaan ada baiknya aturan yang terlalu mengekang tersebut dihindari, itu menurut saya. Kecuali, kalau kemudian di suatu hari terbukti ada anak yang berambut jabrik tidak bisa melakukan roll depan saat pelajaran olah raga karena rambutnya menancap di matras, DPR pun harus turun tangan untuk membuat aturan perundang-udangan. Tapi, apa mungkin ya?

Pendidikan Gratis, Idealkah?


Setiap pelaksanaan kampanye (baik presiden, gubernur, hingga mungkin pemilihan RT) janji paling menarik adalah pendidikan gratis. Pendidikan gratis selalu menjadi komoditas laku jual untuk menggaet jumlah pemilih selain janji-janj lain tentunya. Hal ini wajar, karena pendidikan merupakan kebutuhan, dan bahkan hak mendapatkan pengajaran dijamin oleh undang-undang.
Di beberapa daerah, pendidikan minimal di tingkat dasar sudah digratiskan. Cukup menarik memang. Di saat harga segala kebutuhan melonjak tinggi, masih ada kebutuhan dasar yang gratis. Siapa sih yang tidak akan suka?
Namun, pernahkah Anda melihat sisi lain dari pendidikan gratis?
Ini adalah catatan perjalanan saya di sebuah daerah di negeri ini, yang pemerintah daerahnya sudah membebaskan biaya pendidikan. Sebut saja namanya Amir. Dia dari keluarga biasa, dengan tingkat perekonomian rata-rata penduduk sekitar. Amir duduk di satu-satunya SMP negeri di kecamatannya, di kelas 9.
Tiga hari menjelang pelaksanaan Ujian Nasional, saya bertemu dengan Amir. Dari sanalah cerita ini berawal. Saat sebagian besar teman-temannya sibuk mempersiapkan Ujian Nasional dengan belajar ekstra, Amir justru asyik bermain PS di tetangganya yang kebetulan menyewakan mesin game elektronik tersebut. Dari obrolan kami, ternyata Amir punya prinsip yang jauh di luar dugaan saya: Kalau sekolah gratis, kenapa harus repot, lulus nggak lulus kan tetap nggak bayar. Duh! Dan atas pengakuan Amir, prinsip teguh yang dipegangnya ternyata juga dipegang oleh beberapa temannya.
Saat saya tanyakan, kalau sampai tidak lulus terus bagaimana? Jawabannya juga lumayan mengagetkan, "Kalau tidak lulus gurunya juga malu. Besuk UN pasti dibantu deh!"
Semoga ini hanya sebuah kasus dan bukan potret sebagian besar mental orang Indonesia.

Rabu, 15 Juli 2009

Batam, aku datang!


Akhirnya, setelah penantian panjang aku sampai juga di Kota Batam. 'Fans-fansku' di pulau itu, yang selama ini mengenalku hanya lewat dunia maya dan kabar burung pun, berbondong-bondong bertemu, berbagi dan ngobrol-ngobrol. Asyik juga ternyata....
Maaf, ya teman-teman di kota lain yang belum sempat aku kunjungi. Bukan aku nggak ingin, tapi sementara dunia maya menjadi jembatan kita. Suatu saat, jika Tuhan berkehendak, kita akan bertemu.
Batam, Aku datang!